Senin, 17 Februari 2014
Cerpen
Rigel Canopus
Rigel Canopus, mungkin nama itu masih
jarang didengar orang awam dan masih terlalu asing. Ya, itu namaku Rigel
Canopus, nama dua bintang yang digabung menjadi satu kesatuan yang utuh J
yang masih dalam tahap penyempurnaan diri. Ini duniaku, terlalu putih. Maka tak
ada satupun orang yang tertarik masuk ke dalam duniaku. Tapi syukurlah Tuhan
masih begitu baik kepadaku, aku masih bisa menghirup aroma dunia kecil ini.
Sekarang aku duduk di bangku putih biru dalam proses putih abu-abu. Semakin
dekat langkahku manjadi manusia yang bisa dibilang “bukan anak kecil lagi” dan
dalam masa pendewasaan diri. Eh, aku
juga punya sahabat lho, namanya Thia,
Sabil dan Vina. Mereka yang ngajarin
aku tentang hidup ini.
Rabu, siang itu di kelas saat jam pelajaran Elektonika yang kosong, aku dan
temen-temen sedang kumpul dan asyik mainan. Kumpul di pojok kelas dan main
gitar serta menyanyi bersama-sama. Aku yang akhir-akhir ini selalu bersama
Vina, merasa nyaman dan mungkin semua orang beranggapan kalau aku melupakan
Thia dan Sabil, tapi dalam hati kecilku mereka berdua masih terbingkai rapih
dan belum menjadi MANTAN SAHABAT.
“Ri, aku pengen
ngomong sama kamu.” ucap Thia dan
Sabil, mengagetkanku..
“Iya, sebentar ya.” jawabku secara spontan.
Aku yang semula ikut bernyanyi mendadak berhenti dan
meminta waktu pada Vina yang ada di sebelahku untuk aku pergi sebentar.
Langkahku mendadak menjadi kaku ketika aku melihat Thia dan Sabil sudah duduk
di lorong sebelah kelas.
“Ada apa Thia, Sabil?” tanyaku dengan polos, kerena aku
memang tak tau apa yang terjadi.
“Gini ya Ri,
aku mau tanya sama kamu, “kita” masih tetep
“kita” kan? Belum jadi “aku” kan?” tanya Sabil dengan serius kepadaku.
“Iya dong, kita masih kita yang dulu, yang selalu
bersama. Memangnya kenapa?” sontak aku kaget dengan pertanyaan Sabil.
“Tapi kenapa kamu akhir-akhir ini selalu bersama Vina?
Kamu lupa sama aku dan Sabil??” tanya
Thia dengan nada yang sedikit marah.
“Vina? Vina itu temenku sejak kelas tujuh Thia. Pada
intinya kalian cemburu sama Vinakah?”
tanyaku merada suasana.
“Oh, cukup tau.. engga
ko, engga cemburu.. tapi inget ya
Ri, kita bukan girlband yang sukanya nambah-nambah personil.” Ucap Thia
dengan nada mengeras dan meninggalkan aku sendiri dan mungkin dengan kata-kata
terakhir Thia yang masih terbayang-bayang dibenakku.
Langkahku sontak melemas, entah apa yang baru saja aku
alami, tetapi terasa seperti pukulan yang menghantam begitu keras. Sehingga tak
terasa bel pulang berbunyi. Aku pun bergegas pulang dengan air mata yang
menggantung. Tak kusangka Thia mampu berkata-kata seperti itu. Tetapi di dalam
hati kecilku, aku sedikit menjauhi mereka karena aku merasa minder jika ada di dekat
mereka, mereka juga sepertinya sudah punya sahabat yang jauh diatasku.
Entahlah, lamunku saat berjalan pulang semakin menjadi-jadi. Sesampainya di
kamarku, aku langsung menangis sejadi-jadinya. Aku tak punya teman curhat
sekarang. Aku marasa tak punya siapa-siapa. Aku sendiri. Terpuruk.
“Rigel, kamu kenapa? Hidung kamu berdarah !” tanya
seseorang yang entah siapa itu.
“Ha? Kamu siapa? Kenapa begitu silau? Hidungku? Ini sudah
biasa.” ucapku bingung.
“Aku? Aku temanmu, silaukah? Mungkin kamu belum terbiasa.”
ucap wanita itu begitu lembut.
“Disini begitu indah, bolehkah aku disini selamanya?”
tanyaku sambil tersenyum padanya.
“Ini bukan duniamu cantik, kamu hanya boleh sesekali saja
disini bukan untuk selamanya J” jelasnya dengan suara yang indah.
“Iya deh, aku hanya ingin keluar dari masalah hidupku.
Disini begitu nyaman.” ucapku pilu.
“Sahabatmu ya? aku tau kamu, kamu tidak akan meninggalkan
semua sahabat kamu kan?” tanyanya membuatku kaget.
“Darimana kamu tau semua tentangku? Kamu dukun ya? paranormal?
Atau jangan-jangan kamu fansku?”
tanyaku usil. =D
“kamu ini, aku serius tauk!”
uacapnya sedikit marah.
“iya deh, aku tidak akan melupakan mereka kok, karena aku tidak akan meninggalkan
mereka, aku masih disini untuk mereka, tetapi aku ingin bertanya, bukankah
sahabat itu tidak hanya satu?” tanyaku sambil duduk disebuah bangku dekat lampu
kota.
“Iya Rigel, sahabat itu tidak hanya satu, jika kamu punya
sahabat yang lebih dari satu, ingatlah, jangan membuat mereka mempunyai rasa
iri satu dengan yang lain, bersikap adillah, jangan pilih kasih.” jelasnya.
“aku mengerti, terima ka.....................” jawabku
tak sampai karena aku mulai terbangun dari lelapnya tidurku.
Tak kupungkiri itu hanya bunga tidur, tetapi itu begitu
nyata untukku. Dia teman mimpiku, begitu baik, lembut dan perhatian, walaupun
parasnya agak samar untukku. Tetapi tetap saja kata-kata yang diucapkan oleh
Thia masih terbayang-bayang dibenakku sampai saat ini. Tak terbayang berapa
juta sel yang rontok saat aku mencoba melupakan kalimat itu.
Kamis pagi, aku mencoba bangun dari kegelapan, begitu
sulit untukku berdiri dan berjalan menuju cahaya putih. Saat ku sentuh wajahku,
ternyata demam. Aku tak bilang pada Ibuku, aku akan tetap masuk dengan
keadaanku yang seperti ini. Begitu lemas langkahku.
“Rigel, kamu tak apa? Kamu sakit?” tanya Pampam.
“Tidak pam, mungkin hanya lelah.” ucapku dengan melanjutkan
langkah menuju bangkuku.
“Benarkah? Tetapi wajahmu begitu pucat.” kata Pampam khawatir.
“Iya Pampam, aku tak apa J.” ucapku
meyakinkannya.
“Ya sudah, nanti kalau ada apa-apa bilang sama aku ya J.”
jawab Pampam dengan senyum manis yang tertera di wajahnya.
“Siap Bos, makasih ya Pampam.” ucapku dengan sigap
walaupun semua badan terasa sakit.
“Hehe..
kamu ini, dasar..” katanya seraya beranjak pergi dari depan bangkuku.
Thia dan Sabil sudah sampai di kelas dan aku tak mampu
utuk melihat mereka ataupun mengucap satu katapun. Dan tiba-tiba Vina datang
dan menyapaku.
“Pagi Rigel, kamu tadi malem online twitter engga?
Mau aku mention tapi tak jadi.”
sapanya dengan begitu polos.
“Tidak Vin, tadi malam aku tidur, soalnya kecapekan, sorry ya..” ucapku gugup karena di seberang sana ada Thia yang
memandangiku dengan tatapan yang aneh.
“Oh,, ya sudah.” jawabnya dengan wajah yang mulai bete’.
“Eh, sebentar Vin, boleh aku bicara denganmu??” kataku
dengan mantab.
“Boleh, silahkan saja.” Vina mulai sedikit bingung.
“Gini
ya Vin, aku, Thia dan Sabil kan sudah bersahabat sejak lama, tetapi semenjak
ada kamu, aku mulai menjauh dari mereka, aku tidak menyalahkanmu ya, tapi jujur
aku begitu lepas tertawa saat bersama kamu dan Alfi. Aku tak ingin melepasmu
dan mereka.” ucapku dengan sedikit tersendat-sendat karena mulai terbawa
suasana sedangkan Vina sudah bercucuran air mata.
“Sudahlah
Ri, aku tau ini akan terjadi, tapi aku tak ingin jadi pengganggumu,
kembalillah, aku tak apa Ri.” jawab Vina dengan tulus melepasku.
“Tidak
Vin, aku tidak akan kemana-mana, akan aku jalani hidupku yang sekarang. Tetapi
aku merasa, sejak kamu bersamaku, aku merubamu menjadi semakin buruk Vin.”
butir demi butir air mata mengalir di pipi kami.
“Tidak
Ri, kamu tidak merubah sedikitpun dariku, kembalillah Ri.” ucapnya seraya
berlari pergi meninggalkanku dengan air mata yang bercucuran.
Aku
merasa bersalah dengan Vina, saat di dalam kelas dan saat itu pelajaran BK,
kami merasa canggung untuk berbicara, Vina yang mulai acuh tak acuh kepadaku,
tetapi aku tetap baik kepadanya dan meluluhkan hatinya kembali. Tetapi
masalahku dengan Sabil dan Thia belum selesai. Tak terasa bel istirahat
berbunyi dengan samar.
“Thi,
Sa, boleh aku bicara sebentar??” tanyaku dengan sedikit menunduk.
“Tentu
saja Ri, dimana?” tanya mereka dengan ramah.
“Di
pojok kelas ya.” mendadak menjadi semangat ingin menyelesaikan masalah ini.
“Ayo.”
Sambil berjalan.
“Bigini ya, aku tidak ada sedikitpun niat
untuk menambah personil persahabatan kita, aku hanya ingin mencari suasana baru
di luar sana, tidak bermaksud untuk menjauhi kalian, tetapi kalian juga
terlihat asyik dengan sahabat baru
kalian. Ya sudah, aku rasa impas. Tetapi percayalah. Aku selalu ada untuk
kalian, aku hanya merasa minder dengan kalian.” jelasku kepada mereka dengan
sejelas-jelasnya.
“Ri,
aku rindu saat dulu kita pertama masuk di kelas sembilan, kumpul di pojok
kelas, tertawa bersama, berkomitmen, curhat
masalah satu dengan yang lain, tapi sayang itu dulu, sekarang semuanya
sirna seiring berjalannya waktu. Aku harap kita bisa kembali seperti dulu.”
Ucap Sabil dengan menatapku serius.
“Sa,
bisa saja kembali seperti dulu, tapi kalian harus membuang rasa iri itu, rasa
cemburu itu.” kataku dengan muka sedikit memerah karena menahan rasa sakit
tubuh ini.
“Tapi
Ri, kamu harus ninggalin Vina. Aku
tak mau ini hanya omong kosongmu.” ucap Thia.
“Haruskah
aku meninggalkannya? Kenapa?”
“Harus
! aku tak begitu suka dengannya.” ucap Thia dan Sabil
“Beri
aku waktu untuk itu. Tetapi kita kembalikan? J.” ucapku dengan
bahagia.
“Janji
ya jangan sampai kek gini lagi, oke?” ucap Sabil dengan nada semangat.
“Siap
deh!” ucapku dengan Thia yang sedang toss.
Bersamaan
dengan bel masuk, kami kembali ketempat duduk masing-masing dengan sedikit
beban, aku berjalan melamun dan tak sengaja menabrak Abas.
“Hei
Ri, kenapa melamun?” tanya Abas mengagetkanku.
“Ha??
Tidak Bas, hanya sedikit konslet saja, mungkin ada kabel di otakku yang putus?”
ucapku usil. =D
“Haish
>.<, kamu ini, dari dulu engga pernah sembuh konsletnya.”
“Hehe,
iya nih =D.” aku bergegas duduk karena Guruku sudah datang untuk memulai
pelajaran.
Tak
kusangka, aku tak memperhatikan pelajaran malah memikirkan cara untuk
meninggalkan Vina dengan baik-baik. Tiba-tiba kepalaku terasa begitu pusing dan
hidungku keluar darah, aku tak kuat dan akhirnya aku pingsan. Tak tau apa yang
terjadi, saat bangun aku sudah berada di UKS dan disitu ada Thia serta Sabil
yang menungguiku.
“Jangan
banyak pikiran Ri, aku tau kamu memikirkan cara untuk meninggalkan Vinakan?”
ucap Sabil dengan lembut tepat di depan telingaku.
“Darimana
kamu tau Sa?” kataku dengan lemas.
“Aku
memperhatikanmu Ri, kamu begitu gelisah tadi saat pelajaran.” jawab Sabil.
“Aku
hanya tidak tega Thi, Sa.”
“Ya
sudah, jika kamu tidak bisa tak apa, tapi yakinlah kami masih ada di sini (ia
menunjuk kepalakku) J.” ucap Thia.
“Iya
Thia, aku percaya itu, hati kita masih tetap satu, kita masih tetap “kita”,
dulu, sekarang, esok dan selamanya J.” ucapku
mencoba memeluk Thia dan Sabil.
Dan
aku menyimpulkan bahwa :
“In
this life, we can’t always do great things. But, we can do small things with
great love.”
“Dalam
kehidupan ini kita tidak dapat selalu melakukan hal yang besar. Tetapi, kita
dapat melalukan banyak hal kecil dengan cinta yang besar.”
–Rigel Canopus –
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar :
Posting Komentar