Rigel Canopus

Pages

  • Beranda
  • Sesorah Lingkungan



About Me

Unknown
Lihat profil lengkapku

Followers

Blog Archive

  • ▼  2014 ( 15 )
    • ►  Maret ( 7 )
    • ▼  Februari ( 8 )
      • Nabi Sulaiman
      • Geguritan
      • Laporan Tari Mancanegara
      • Cerpen
      • Keistimewaan Indonesia
      • Laporan Fisika
      • Rangkuman Buku Populer
      • Cerpen
Senin, 17 Februari 2014

Cerpen


                                      Rigel Canopus
          Rigel Canopus, mungkin nama itu masih jarang didengar orang awam dan masih terlalu asing. Ya, itu namaku Rigel Canopus, nama dua bintang yang digabung menjadi satu kesatuan yang utuh J yang masih dalam tahap penyempurnaan diri. Ini duniaku, terlalu putih. Maka tak ada satupun orang yang tertarik masuk ke dalam duniaku. Tapi syukurlah Tuhan masih begitu baik kepadaku, aku masih bisa menghirup aroma dunia kecil ini. Sekarang aku duduk di bangku putih biru dalam proses putih abu-abu. Semakin dekat langkahku manjadi manusia yang bisa dibilang “bukan anak kecil lagi” dan dalam masa pendewasaan diri. Eh, aku juga punya sahabat lho, namanya Thia, Sabil dan Vina. Mereka yang ngajarin aku tentang hidup ini.
            Rabu, siang itu di kelas saat  jam pelajaran Elektonika yang kosong, aku dan temen-temen sedang kumpul dan asyik mainan. Kumpul di pojok kelas dan main gitar serta menyanyi bersama-sama. Aku yang akhir-akhir ini selalu bersama Vina, merasa nyaman dan mungkin semua orang beranggapan kalau aku melupakan Thia dan Sabil, tapi dalam hati kecilku mereka berdua masih terbingkai rapih dan belum menjadi MANTAN SAHABAT.
            “Ri, aku pengen ngomong sama kamu.” ucap Thia dan Sabil, mengagetkanku..
            “Iya, sebentar ya.” jawabku secara spontan.
            Aku yang semula ikut bernyanyi mendadak berhenti dan meminta waktu pada Vina yang ada di sebelahku untuk aku pergi sebentar. Langkahku mendadak menjadi kaku ketika aku melihat Thia dan Sabil sudah duduk di lorong sebelah kelas.
            “Ada apa Thia, Sabil?” tanyaku dengan polos, kerena aku memang tak tau apa yang terjadi.
            “Gini ya Ri, aku mau tanya sama kamu, “kita” masih tetep “kita” kan? Belum jadi “aku” kan?” tanya Sabil dengan serius kepadaku.
            “Iya dong, kita masih kita yang dulu, yang selalu bersama. Memangnya kenapa?” sontak aku kaget dengan pertanyaan Sabil.
            “Tapi kenapa kamu akhir-akhir ini selalu bersama Vina? Kamu lupa sama aku dan Sabil??” tanya Thia dengan nada yang sedikit marah.
            “Vina? Vina itu temenku sejak kelas tujuh Thia. Pada intinya kalian cemburu sama Vinakah?” tanyaku merada suasana.
            “Oh, cukup tau.. engga ko, engga cemburu.. tapi inget ya Ri, kita bukan girlband yang sukanya nambah-nambah personil.” Ucap Thia dengan nada mengeras dan meninggalkan aku sendiri dan mungkin dengan kata-kata terakhir Thia yang masih terbayang-bayang dibenakku.
            Langkahku sontak melemas, entah apa yang baru saja aku alami, tetapi terasa seperti pukulan yang menghantam begitu keras. Sehingga tak terasa bel pulang berbunyi. Aku pun bergegas pulang dengan air mata yang menggantung. Tak kusangka Thia mampu berkata-kata seperti itu. Tetapi di dalam hati kecilku, aku sedikit menjauhi mereka karena aku merasa minder jika ada di dekat mereka, mereka juga sepertinya sudah punya sahabat yang jauh diatasku. Entahlah, lamunku saat berjalan pulang semakin menjadi-jadi. Sesampainya di kamarku, aku langsung menangis sejadi-jadinya. Aku tak punya teman curhat sekarang. Aku marasa tak punya siapa-siapa. Aku sendiri. Terpuruk.
            “Rigel, kamu kenapa? Hidung kamu berdarah !” tanya seseorang yang entah siapa itu.
            “Ha? Kamu siapa? Kenapa begitu silau? Hidungku? Ini sudah biasa.” ucapku bingung.
            “Aku? Aku temanmu, silaukah? Mungkin kamu belum terbiasa.” ucap wanita itu begitu lembut.
            “Disini begitu indah, bolehkah aku disini selamanya?” tanyaku sambil tersenyum padanya.
            “Ini bukan duniamu cantik, kamu hanya boleh sesekali saja disini bukan untuk selamanya J” jelasnya dengan suara yang indah.
            “Iya deh, aku hanya ingin keluar dari masalah hidupku. Disini begitu nyaman.” ucapku pilu.
            “Sahabatmu ya? aku tau kamu, kamu tidak akan meninggalkan semua sahabat kamu kan?” tanyanya membuatku kaget.
            “Darimana kamu tau semua tentangku? Kamu dukun ya? paranormal? Atau jangan-jangan kamu fansku?” tanyaku usil. =D
            “kamu ini, aku serius tauk!” uacapnya sedikit marah.
            “iya deh, aku tidak akan melupakan mereka kok, karena aku tidak akan meninggalkan mereka, aku masih disini untuk mereka, tetapi aku ingin bertanya, bukankah sahabat itu tidak hanya satu?” tanyaku sambil duduk disebuah bangku dekat lampu kota.
            “Iya Rigel, sahabat itu tidak hanya satu, jika kamu punya sahabat yang lebih dari satu, ingatlah, jangan membuat mereka mempunyai rasa iri satu dengan yang lain, bersikap adillah, jangan pilih kasih.” jelasnya.
            “aku mengerti, terima ka.....................” jawabku tak sampai karena aku mulai terbangun dari lelapnya tidurku.
            Tak kupungkiri itu hanya bunga tidur, tetapi itu begitu nyata untukku. Dia teman mimpiku, begitu baik, lembut dan perhatian, walaupun parasnya agak samar untukku. Tetapi tetap saja kata-kata yang diucapkan oleh Thia masih terbayang-bayang dibenakku sampai saat ini. Tak terbayang berapa juta sel yang rontok saat aku mencoba melupakan kalimat itu.
            Kamis pagi, aku mencoba bangun dari kegelapan, begitu sulit untukku berdiri dan berjalan menuju cahaya putih. Saat ku sentuh wajahku, ternyata demam. Aku tak bilang pada Ibuku, aku akan tetap masuk dengan keadaanku yang seperti ini. Begitu lemas langkahku.
            “Rigel, kamu tak apa? Kamu sakit?” tanya Pampam.
            “Tidak pam, mungkin hanya lelah.” ucapku dengan melanjutkan langkah menuju bangkuku.
            “Benarkah? Tetapi wajahmu begitu pucat.” kata Pampam khawatir.
            “Iya Pampam, aku tak apa J.” ucapku meyakinkannya.
            “Ya sudah, nanti kalau ada apa-apa bilang sama aku ya J.” jawab Pampam dengan senyum manis yang tertera di wajahnya.
            “Siap Bos, makasih ya Pampam.” ucapku dengan sigap walaupun semua badan terasa sakit.
“Hehe.. kamu ini, dasar..” katanya seraya beranjak pergi dari depan bangkuku.
            Thia dan Sabil sudah sampai di kelas dan aku tak mampu utuk melihat mereka ataupun mengucap satu katapun. Dan tiba-tiba Vina datang dan menyapaku.
            “Pagi Rigel, kamu tadi malem online twitter engga? Mau aku mention tapi tak jadi.” sapanya dengan begitu polos.
            “Tidak Vin, tadi malam aku tidur, soalnya kecapekan, sorry ya..” ucapku gugup karena di seberang sana ada Thia yang memandangiku dengan tatapan yang aneh.
            “Oh,, ya sudah.” jawabnya dengan wajah yang mulai bete’.
            “Eh, sebentar Vin, boleh aku bicara denganmu??” kataku dengan mantab.
            “Boleh, silahkan saja.” Vina mulai sedikit bingung.
“Gini ya Vin, aku, Thia dan Sabil kan sudah bersahabat sejak lama, tetapi semenjak ada kamu, aku mulai menjauh dari mereka, aku tidak menyalahkanmu ya, tapi jujur aku begitu lepas tertawa saat bersama kamu dan Alfi. Aku tak ingin melepasmu dan mereka.” ucapku dengan sedikit tersendat-sendat karena mulai terbawa suasana sedangkan Vina sudah bercucuran air mata.
“Sudahlah Ri, aku tau ini akan terjadi, tapi aku tak ingin jadi pengganggumu, kembalillah, aku tak apa Ri.” jawab Vina dengan tulus melepasku.
“Tidak Vin, aku tidak akan kemana-mana, akan aku jalani hidupku yang sekarang. Tetapi aku merasa, sejak kamu bersamaku, aku merubamu menjadi semakin buruk Vin.” butir demi butir air mata mengalir di pipi kami.
“Tidak Ri, kamu tidak merubah sedikitpun dariku, kembalillah Ri.” ucapnya seraya berlari pergi meninggalkanku dengan air mata yang bercucuran.
Aku merasa bersalah dengan Vina, saat di dalam kelas dan saat itu pelajaran BK, kami merasa canggung untuk berbicara, Vina yang mulai acuh tak acuh kepadaku, tetapi aku tetap baik kepadanya dan meluluhkan hatinya kembali. Tetapi masalahku dengan Sabil dan Thia belum selesai. Tak terasa bel istirahat berbunyi dengan samar.
“Thi, Sa, boleh aku bicara sebentar??” tanyaku dengan sedikit menunduk.
“Tentu saja Ri, dimana?” tanya mereka dengan ramah.
“Di pojok kelas ya.” mendadak menjadi semangat ingin menyelesaikan masalah ini.
“Ayo.” Sambil berjalan.
 “Bigini ya, aku tidak ada sedikitpun niat untuk menambah personil persahabatan kita, aku hanya ingin mencari suasana baru di luar sana, tidak bermaksud untuk menjauhi kalian, tetapi kalian juga terlihat  asyik dengan sahabat baru kalian. Ya sudah, aku rasa impas. Tetapi percayalah. Aku selalu ada untuk kalian, aku hanya merasa minder dengan kalian.” jelasku kepada mereka dengan sejelas-jelasnya.
“Ri, aku rindu saat dulu kita pertama masuk di kelas sembilan, kumpul di pojok kelas, tertawa bersama, berkomitmen, curhat masalah satu dengan yang lain, tapi sayang itu dulu, sekarang semuanya sirna seiring berjalannya waktu. Aku harap kita bisa kembali seperti dulu.” Ucap Sabil dengan menatapku serius.
“Sa, bisa saja kembali seperti dulu, tapi kalian harus membuang rasa iri itu, rasa cemburu itu.” kataku dengan muka sedikit memerah karena menahan rasa sakit tubuh ini.
“Tapi Ri, kamu harus ninggalin Vina. Aku tak mau ini hanya omong kosongmu.” ucap Thia.
“Haruskah aku meninggalkannya? Kenapa?”
“Harus ! aku tak begitu suka dengannya.” ucap Thia dan Sabil
“Beri aku waktu untuk itu. Tetapi kita kembalikan? J.” ucapku dengan bahagia.
“Janji ya jangan sampai kek gini lagi, oke?” ucap Sabil dengan nada semangat.
“Siap deh!” ucapku dengan Thia yang sedang toss.
Bersamaan dengan bel masuk, kami kembali ketempat duduk masing-masing dengan sedikit beban, aku berjalan melamun dan tak sengaja menabrak Abas.
“Hei Ri, kenapa melamun?” tanya Abas mengagetkanku.
“Ha?? Tidak Bas, hanya sedikit konslet saja, mungkin ada kabel di otakku yang putus?” ucapku usil. =D
“Haish >.<, kamu ini, dari dulu engga pernah sembuh konsletnya.”
“Hehe, iya nih =D.” aku bergegas duduk karena Guruku sudah datang untuk memulai pelajaran.
Tak kusangka, aku tak memperhatikan pelajaran malah memikirkan cara untuk meninggalkan Vina dengan baik-baik. Tiba-tiba kepalaku terasa begitu pusing dan hidungku keluar darah, aku tak kuat dan akhirnya aku pingsan. Tak tau apa yang terjadi, saat bangun aku sudah berada di UKS dan disitu ada Thia serta Sabil yang menungguiku.
“Jangan banyak pikiran Ri, aku tau kamu memikirkan cara untuk meninggalkan Vinakan?” ucap Sabil dengan lembut tepat di depan telingaku.
“Darimana kamu tau Sa?” kataku dengan lemas.
“Aku memperhatikanmu Ri, kamu begitu gelisah tadi saat pelajaran.” jawab Sabil.
“Aku hanya tidak tega Thi, Sa.”
“Ya sudah, jika kamu tidak bisa tak apa, tapi yakinlah kami masih ada di sini (ia menunjuk kepalakku) J.” ucap Thia.
“Iya Thia, aku percaya itu, hati kita masih tetap satu, kita masih tetap “kita”, dulu, sekarang, esok dan selamanya J.” ucapku mencoba memeluk Thia dan Sabil.
Dan aku menyimpulkan bahwa :
“In this life, we can’t always do great things. But, we can do small things with great love.”
“Dalam kehidupan ini kita tidak dapat selalu melakukan hal yang besar. Tetapi, kita dapat melalukan banyak hal kecil dengan cinta yang besar.”
–Rigel Canopus –


Diposting oleh Unknown di 05.36
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Bagikan ke X Berbagi ke Facebook

0 komentar :

Posting Komentar

Posting Lebih Baru
Langganan: Posting Komentar ( Atom )
Copyright © 2012 Rigel Canopus |